oleh : Ikfal Alfazri
Nusantara adalah wilayah yang sangat luas meliputi pelbagai daerah di Asia Tenggara, salah satu bagiannya yang terlahir adalah Indonesia. Alam Nusantara sangatlah indah (Ahmad Syafi’i Maarif, 2015, hlm 45) tengoklah gunung-gemunung yang menghijau, lembah dan ngarai yang tak pernah menjemukan jika dipandang, sekalipun telah banyak yang telah rusak.
Jangan ditanya lagi danaunya yang bertebaran dipelbagai pulau seperti Danau Singkarak di Ranah Minang, dengan kondisi air yang sangat bersih nan jernih.
Nusantara selain memiliki alam yang sangat indah, juga memiliki masyarakat yang terkenal dengan keramahannya. Karakteristik ini membuat masyarakat asing mudah berinteraksi, baik untuk berdagang, berdakwah, maupun berlabuh hanya sekedar beristirahat. Berabad-abad lamanya pelbagai bangsa datang membawa agama dan peradaban yang kemudian tumbuh subur di tanah Nusantara ini.
Tengoklah satu pulau di Nusantara, yaitu pulau Jawa salah satu daerah multikultural. Sehingga Jawa salah satu yang majemuk karena dari pelbagai sosio-budaya bercampur baur di dalamnya. Lihatlah perbedaan etnis, budaya, adat-istiadat, bahasa, agama dan masih banyak lagi. Dari perbedaan tersebut justru mempersatu kesatuan sesama manusia di Jawa.
Dalam sejarah, agama Islam datang ke bumi Nusantara melalui proses yang sangat panjang, karena di Nusantara terutama di Jawa banyak sekali masyarakat yang menganut pelbagai agama yang sudah datang sebelum Islam seperti Hindu, Budha, dan adapula yang meyakini kepercayaan animisme, dinamisme/aliran kepercayaan.
Namun menurut Koentjaraningrat menyatakan bahwa agama Jawi adalah sistem keyakinan orang Jawa kepada Allah. Agama Jawa sering disebut kejawen. Di Nusantara terjadi benturan budaya dimana Islam, Hinduisme dan tradisi animisme membaut dalam satu sistem sosial. (Suwardi Endraswara, 2015, hlm 154). Hindu dan Budha adalah agama yang beroperasi di pelbagai pulau di Nusantara sejak abad ke-5 Masehi.
Menurut Ahmad Syafii Maarif bahwa kegiatan Hindu terlihat di Kutai Kalimantan Timur, dan di Jawa muncul kerajaan Tarumanegara dipermulaan pertengahan abad ke-5 M. Tentunya Islam datang didahului oleh agama-agama lain yang lebih tua (Ahmad Syafi’i Maarif, 2015, hlm 34).
Jawa terutama di Cirebon, mendapat warisan interaksi sosial tersebut dengan ciri masyarakat yang majemuk. Terbukti dengan mulai adanya aliran kepercayaan, kemudian agama Hindu-Budha, hingga ke Islam. Agama mulai berperan dalam kehidupan masyarakat, seperti halnya Islam.
Sejarah mencatat, proses Islamisasi di Jawa berjalan dengan aman dan damai, tanpa ada pergolakan dan keguncangan psikologis serta sosial. Hal ini disebabkan oleh peran para Wali yang lebih menggunakan pendekatan kultural, yang sarat dengan simbol-simbol kebudayaan lokal seperti wayang, gamelan, dan lain sebagainya.
Akulturasi yang dipelopori oleh Walisongo dilanjutkan oleh para juru dakwah berikutnya, sehingga pengalaman dan praktek Islam di Jawa sangatlah khas. Agama dan budaya berjalan secara selaras, serasi dan seimbang (M. Habib Mustopo, 1988, hl.. 71-72).
Selama berabad-abad lamanya, masyarakat Nusantara terkhusus di Jawa sudah mengenal dimensi spiritual sebagai bagian penting kehidupan serta kebudayaannya. Hal ini terekam dalam pelbagai situs dan artefak budaya yang mempresentasikan simbol-simbol spiritual, mistis dan dimensi ruhani.
Misalkan candi-candi, makam-makam kuno, hingga tempat-tempat pemujaan roh halus yang diyakini mempunyai kekuatan misteri. Inilah serangkaian produk kebudayaan masyarakat Nusantara terutama di Jawa, yang diyakini sebagai puncak olah batin dan perasaan (Suwardi Endraswara, 2015, hlm. 154).
Misi dakwah dan kampanye teologis para pembesar Budha, Hindu dan bahkan Islam, juga menempatkan kebudayaan sebagai pijakan untuk menggaet hati warga. Pada masa kampanye dakwah Islam yang dipelopori oleh Walisongo, dimana para sunan memasukan pelbagai tradisi lokal hingga ‘seolah-olah’ menjadi paket teologis. Seperti Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga menjadi pelopor memodifikasi alat musik agar khas dengan selera Jawa, serta menciptakan lagu-lagu populer yang sarat pesan spiritual.
Alat musik gamelan, lagu-lagu Jawa klasik, kesenian wayang dan beberapa model kesenian lain. Dari dakwah melalui multikultural tersebut muncul simbol-simbol yang sarat akan nilai dan makna filosofi.
Di zaman global seperti budaya begitu mudah masuk dan diserap oleh masyarakat. Nusantara sebagai panggung interaksi budaya multikultural tentunya harus ada pihak-pihak yang berusaha menjadi warisan budaya yang telah diwariskan oleh para leluhur. Selain oleh masyarakatnya itu sendiri, tentu harus ada tangan-tangan yang benar-benar menjaga kearifan lokal ini.
Bersyukur atas nikmat, penulis ungkapkan kepada ORMAS NU dan seluruh masyarakat yang telah berusaha menjaga kearifan lokal berupa budaya dan tradisi yang sarat akan nilai dan makna filosofi. Sejalan dengan apa yang diungkap oleh Ahmad Syafii Maarif bahwa “NU mewakili arus besar Islam di Indonesia telah bahu membahu dalam mengibarkan panji-panji Islam terbuka, moderat, damai dan modern sebagai modal sosial yang sangat strategis bagi keberlangsungan bangsa Indonesia yang plural pada masa-masa yang akan datang”. (Ahmad Syafi’i Maarif, 2015, hlm. 36).
Begitupun yang diungkap ketua PBNU dalam Muktamar ke-33 di Jombang, yaitu “Kita mempunyai Islam Nusantara, Islam khas Indonesia dengan paham ahlussunnah wal jamaah, yang mengutamakan toleransi, menegaskan Islam rahmatan lil ‘alamin, dengan ideologi tawazun, tawasuth, tasamuh dan i’tidal, siap memberi solusi dan wajah Islam kepada dunia”. Sejalan dengan apa yang diungkap oleh Gus Dur seorang Guru Bangsa, menyatakan bahwa masyarakat tentunya harus memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik (Syafif Utsman Yahya, 2007, hlm. xiv).
Dalam hal ini, penulis ingin membawa pembaca untuk menghargai budaya dan tradisi yang sudah lama dijaga dan dilestarikan. Karena jika bukan kita? Yang terjadi kelak adalah cucu-cucu kita kelak tidak bisa merasakan betapa kaya dan indahnya negeri ini akan budaya dan tradisi yang indah.
Disinilah tentunya masyarakat harus bisa memfilter apa yang perlu dipegang sebagai acuan hidup dan mana nilai yang harus diubah menjadi satu masalah sendiri. Nusantara terutama Indonesia harus tetap menjaga kemajemukan dari perbedaan etnis, budaya, adat istiadat, bahasa dan agama menjadi satu-kesatuan yang utuh.
Sebagaimana semboyan nenek moyang kita yaitu “Bhineka Tunggal Ika” yaitu berbeda-beda namun memiliki tujuan yang sama. Salam Belajar, Berjuang, Bertaqwa.
Naskah sudah dipublikasikan di Harian Suara Rakyat, 21 Maret 2016.